Uang Sumber: idntimes.com |
Suatu sore, salah satu senior meminta saya untuk melihat amplop senior lain yang isinya adalah tumpukan sertifikat, piagam dan surat lamaran kerja yang ditulis di dua lembar kertas HVS untuk menjadi pegawai tata usaha dan pengajar di suatu madrasah. Saat itu saya tau, uang selalu dibutuhkan oleh semua orang tanpa kecuali, bahkan bagi seorang mahasiswa yang tampak selalu tegar dalam hidupnya, yang seolah-olah tidak membutuhkan uang dan akan menjalani kehidupannya dengan berbeda, tidak sesuai tren-tren pabrikasi dan alur hidup yang biasa-biasa saja. Namun di mata saya, saat ini dia mulai menyerah dan mulai mengikuti arus sebagaimana orang-orang biasa. Mungkin saya keliru mengenai apa yang saya pikirkan tentangnya selama ini.
Dada saya sesak hari itu. Sertifikat dan piagam-piagam yang saya pikir tidak berguna sebagaimana saya melihatnya dia memandang demikian di masa lalu, kini hancur berkeping-keping. Dia mengumpulkan semuanya, yang mungkin sama halnya yang dilakukan teman-teman saya dengan mengikuti seminar berbayar demi selembar sertifikat. Berengsek! Apa kau tau betapa hatiku menangis, aku benci pada kehidupan yang berengsek-berengsek seperti ini. Orang yang kukagumi sudah mulai berjalan loyo di jalan orang-orang kebanyakan, mencoba berguna sebagaimana mestinya, mencari rupiah untuk memenuhi hidup dan mungkin tuntutan orang-orang di sekitarnya. Kau idealis, kau orang yang bercita-cita tinggi, kau, ya kau dari sekian orang yang duduk di bawah naungan organisasi yang mungkin membuatmu menjadi sosok tangguh, luar biasa, dan idealis sebagaimana anggapanku.
Saya selalu mengatakan betapa saya sakit menyaksikan teman-teman masa kecilku berkata, "Aku akan menjadi penyanyi seperti mereka yang ada di tivi." Tapi mereka menyerah dan mulai berjalan sebagaimana adanya, hidup biasa-biasa saja dengan rupiah yang masuk ke kantong mereka secara berkala, menikah, mempunyai anak, dan mati. Setidaknya mereka berguna untuk keluarga mereka, pikirku demikian, memiliki pemasukan rupiah yang terjamin untuk menghindari gunjingan orang-orang, dan tidak seperti saya yang entah bagaimana sampai saat ini tidak berguna. Mungkin kau juga berpikir bahwa berguna adalah dengan berbelok ke jalan orang-orang seperti mereka, aku pun berpikir demikian.
Tapi saat saya benar-benar melihatmu mulai berbelok, saya hanya mematung di sini.
Bagaimana dengan mimpimu? Saya ingin bertanya hal ini padamu.
Akhirnya dengan perasaan yang tak dapat dijelaskan, saya mengirim pesan whatsapp menyemogakan kesuksesanmu. Mengungkapkan mimpiku untuk mendirikan sebuah penerbitan indie idealis bersamamu di masa depan.
Kau pun bilang kau tidak bekerja sepenuh hati dengan manusia dan kau hanya bekerja keras untuk keabadian.
Sungguhkan itu? Atau kau hanya orang munafik agar menjadi berguna sebagaimana orang-orang lain?
0 Komentar
Tuliskan perasaan kalian disini, Busukers!