Depresi Sumber: aubreymarcus.com |
Orang-orang mudah sekali mengabaikan sesuatu yang disebut depresi. Apalagi, mereka yang tidak mengalaminya. Apa karena depresi tidak meninggalkan bekas laiknya demam yang menaikkan suhu tubuh, lantas orang-orang mengabaikannya?
Kadang mereka yang menamai diri sebagai psikolog, mahasiswa yang menempuh pendidikan di jurusan psikologi, atau jurnalis yang katanya membela rakyat miskin benar-benar tidak memahami bagaimana depresi. Orang yang seharusnya mempunyai rasa empati tinggi, nyatanya belum tentu dapat merangkul orang-orang pengidap penyakit ini. Hal ini membuat para penderita dipaksa untuk terus sembunyi atau semakin menderita ketika memohon pertolongan.
Siapa yang dapat memahami depresi kecuali penderita itu sendiri? Tidak ada. Kata-kata atau tulisan tidak akan depat menerangkan betapa brengsek depresi itu. Berhentilah menambah beban para penderita, kurang lebih demikian teriakan salah satu pengidap depresi.
2 Komentar
Oke, sedikit saja.
BalasHapusDepresi sama halnya dengan rasa bahagia. Jadi peryataan mengenai "Siapa yang dapat memahami depresi kecuali penderita itu sendiri?" Tidak ada. Sama halnya ketika siapa yang dapat memahami kebahagiaan kecuali penderita itu sendiri? Tidak ada.
Jadi jika depresi adalah titik akhir dari kekalahan maka kebahagiaan adalah titik akhir dari kemenangan. Maka sebenarnya ada space yang itu mampu melibatkan orang lain. Kasihan, salut, respect, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan kepedulian, tampak maupun tidak, itu adalah bagian yang lain selain yang telah mengalami dua hal yang mendaji permasalahan tersebut.
Psikolog, mahasiswa psikologi, jurnalis, itu berada pada space tersebut, yang mana ia sendiri juga punya space sendiri pada orang selain dirinya.
Intinya, manusia memiliki keyakinan untuk sekadar berjalan seperti koloni hewan, namun ia punya satu pemikiran yang membikin dirinya sendiri jauh untuk berkoloni. Nah itu yang sebenarnya tidak bisa dideskripsikan seperti narasi di atas, pun sebenarnya yang terjadi emang seperti itu.
Jadi sebenarnya narasi seperti di atas itu sia-sia, tapi banyak sekali model narasi seperti itu beterbangan dimana-mana bahkan menjadi solusi bagi orang yang bersangkutan. Solusinyapun menarik, bahkan akan timbul kejadian orang depresi memotivasi dirinya sendiri yang depresi. Bagi orang yang mampu mungkin ia akan berhenti sejenak, entah gila se pekan atau tidur dalam waktu yang tak ditentukan. Tapi bagi orang yang tidak mampu, artinya bukan ia tidak mampu sebab depresinya melebihi kemampuannya mengatasi depresinya itu, tapi dia tidak mampu karena dirinya tak seistimewa kemampuan yang lain, bahkan ketika orang lain terlibat ia hanya akan meremehkan depresinya itu. Bisa jadi ia akan lebih mati dari orang mati.
BalasHapusTuliskan perasaan kalian disini, Busukers!