Sepeda
Sumber: interview.id

Hari ini gw mau cerita mengenai kisah yang menurut gw terlampau horor. Sebuah kisah dari seseorang yang spesial pada masanya dan tetap spesial di masa sekarang. Kenapa? Karena gw nggak yakin kalian bakal paham sisi horor cerita ini, perihal secuil kisah tentang lika-liku Program Pengalaman Lapangan (PPL) dari seorang mahasiswa yang menjabat sebagai pemimpin redaksi (pemred) sebuah lembaga pers yang bemarkas di kantor jancuks.

Sebelum gw memulai menulis, gw mau bilang bahwa gw belum meminta izin untuk menulis dan mem-posting cerita ini. Oleh karena itu, segala sesuatu akan disamarkan sebagaimana cerita horor lainnya, seperti KKN Desa Penari misalnya, mulai dari kantor yang disamarkan sebagai kantor jancuks dan narasumber yang akan disebut  Sur. Tetapi karena gw pikir cerita ini mengandung banyak humor dan perjuangan yang layak diketahui semua orang, gw dengan berani akan menulis cerita ini dengan resiko yang akan gw tanggung sendiri.

Jadi untuk Busukers yang membaca cerita ini, yang mungkin familiar dengan nama-nama yang telah disamarkan sebagaimana kantor jancuks atau seorang tokoh bernama Sur, mohon untuk berpura-pura tidak mengerti dan tidak tahu apa-apa. Diharap untuk tidak menghardik tokoh yang akan diceritakan.

Kisah ini terjadi pada tahun 2018 ketika Universitas A yang terletak di Kota T menyelenggarakan PPL untuk Fakultas F. Sur yang notabene mengambil jurusan BD mendapat lokasi PPL di kota sebelah, sebut saja Kota B. Tepatnya di sebuah Sekolah Menengah Atas (SMA) bernama C. Sur saat itu tidak mempunyai gawai pintar untuk mempunyai aplikasi whatsapp atau motor untuk melakukan mobilitas. Dia hanya dapat berkomunikasi melalui pesan singkat berbayar dan bermobilitas dengan bantuan orang lain.

Universitas A berjarak 37 km dari SMA C jika diukur melalui aplikasi google maps. Jarak ini bukan jarak yang dekat menurut gw, setidaknya butuh waktu setengah jam apabila berkendara memakai motor. Biasanya, Sur akan dibonceng salah satu dari dua temannya yang PPL di SMA serupa apabila kembali ke Universitas A atau dari Universitas A menuju SMA C, sebut saja Kilo dan Boni. Kilo adalah ketua umum UKM X yang berasas kekeluargaan  dan Boni tinggal bersama orang tuanya di Kota T sehingga memutuskan kembali setiap hari.

Saat itu Sur bercerita bahwa lembaga pers yang bermarkas di kantor jancuks mempunyai agenda rutin setiap semester, yaitu prasidang tema yang berperan penting dalam proses penerbitan majalah sebagai output lembaga ini. Sialnya agenda ini bertepatan dengan PPL di Kota B. Sur yang menjabat sebagai pemimpin redaksi merasa wajib mengikuti agenda tersebut karena dia sadar posisinya sebagai tonggak utama dan mempunyai tanggung jawab terhadap setiap isi majalah yang akan diterbitkan. Sayang seribu sayang, Kilo dan Boni telah digaet teman perempuan mereka yang lain sehingga pada hari yang sama masing-masing anak kembali ke Universitas A tanpa membawa Sur ikut serta. Sur yang merasa kecewa tak merasa patah arang. Dengan modal tekad bagai baja, dia meminjam sepeda ontel dari seorang penjual di kantin SMA.

Setelah selesai melakukan tugas di SMA C hari itu, di bawah teriknya matahari, Sur mengayuh sepeda ke kantor jancuks sejuh 37 km. Meski letih luar biasa merasuki setiap sendi kakinya, otot-otot kakinya, dan bokongnya, Sur pantang menyerah demi memenuhi tanggung jawabnya. Ketika matahari mulai tenggelam, Sur sampai di kantor jancuks dengan lelah tiada tara. Dia hanya duduk di teras sembari tersenyum melepas lelah. Tiba-tiba salah satu teman seperjuangannya yang berposisi sebagai staf penelitian kantor jancuks duduk mendekat, sebut saja dia Baktak. Dalam perbincangan singkat yang awalnya basa-basi, Baktak kemudian bertanya bagaimana Sur kembali ke universitas tiba-tiba. Sur pun menjawab ragu-ragu bahwa dia mengayuh sepeda dari Kota B untuk mengikuti prasidang tema yang merupakan tanggung jawabnya. Awalnya Baktak mengira teman seperjuangannya itu hanya bercanda dan bicara omong kosong. Tapi dia tahu tidak ada kebohongan di matanya.

"Gendeng! Awakmu lo ndue bolo (Gila! Kamu lo punya sekutu, red.)," ucap Baktak kesal.

Sur hanya tersenyum malu-malu.  Sur pun meminta Baktak agar tidak menceritakan kejadian ini ke anak-anak lain karena dia pikir ini adalah tindakan yang konyol.

Dengan fisik lelah, Sur memulai prasidang tema dengan merasahasiakan pengorbanannya mengayuh sepeda sejauh 37 km. Namun entah bagaimana, sepertinya perjuangannya yang diam-diam kurang dihargai sebagian anggota. Segala sesuatu tidak berjalan sesuai harapan. Akibat perbuatan seorang tokoh, sebut saja Roma Kelapa, Sur merasa kecewa dan marah.

Malam hari di hari yang sama, dia kembali dan berniat tidur di indekos yang tak jauh dari universitas. Sampai pukul sepuluh malam, Sur sama sekali tidak dapat tertidur pulas. Dia berpikir keras bagaimana caranya kembali ke SMA C tanpa terlambat. Pasalnya pada esok hari, tepatnya pukul tujuh pagi, Sur harus berada di SMA C untuk melakukan segala kewajibannya sebagai peserta PPL.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Sur membuka daun pintu dengan hati-hati. Sial, pikirnya. Ridwan dan Nia tampak berdiri berdampingan di teras. Dengan perasaan was-was, Sur menduga Baktak telah menceritakan apa yang dia lakukan hari ini ke teman-teman seperjuangannya yang lain.

"Saman iki mau numpak opo? (kamu hari ini naik apa, red.)," tanya Ridwan lembut.

Sur hanya bisa tersenyum tanpa menjawab sepatah kata pun.

"Sesok tak terne yo (besok kuantar ya, red.)," tambah Ridwan.

Sur dengan lembut menolak.

"Wis to Mbak Sur, ojo ngono (sudahlah Mbak Sur, jangan begitu, red.)," bujuk An tak mau menyerah.

"Saman sesok nek sekolah jam piro? (kamu besok di sekolah jam berapa?, red)," itu Ridwan.

"Jam pitu (jam tujuh, red.)."

"Terus ape budal jam piro? (terus mau berangkat jam berapa, red.)."

"Jam papat esuk (jam empat pagi, red.)."

"Tak terne yo sesok (tak antar ya besok, red.)."

Sur menggeleng.

"Yo wis, aku sing numpak sepeda wae. Saman sing diantar Nia (Ya sudah, aku yang naik sepeda saja. Kamu yang diantar Nia, red.)."

Sur tetap menolak. Setelah melalui perdebatan sengit nan panjang, Ridwan dan Nia menyerah. Mereka pulang dengan kecewa karena tidak mampu meruntuhkan kekeraskepalaan seorang pemimpin redaksi di kantor jancuks.

Hari esok pun tiba. Rencana untuk berangkat pukul empat pagi pun sirna. Sur bangun tepat pukul lima. Akhirnya tanpa mandi dan memakan sesuap makanan, Sur bergegas mengayuh sepeda sejauh 37 km kembali ke Kota B.

Namun entah kenapa hari ini terasa jauh lebih berat. Tidak seperti kemarin, kaki dan bokongnya terasa sakit dan perih. Sur pun memutuskan untuk berhenti di setiap masjid yang dia temui. Sur akan duduk sebentar dan kadang beristirahat atau tidur sejenak. Saat Sur membulatkan tekad kembali mengayuh sepeda, dia berharap  akan bertemu Kilo dan Boni yang mungkin dapat menolongnya. Tuhan mengabulkan harapannya. Dia menjumpai Boni yang mengendarai motor dengan kecepatan luar biasa tinggi sehingga Sur tidak berkesempatan menyapanya. Kenapa Boni tidak melihatku yang ada di pinggir jalan? Begitulah kira-kira gumam Sur merana. Harapannya pupus seketika.

Setelah perjalanan panjang melalui jalan-jalan besar, Sur sampai di SMA C pukul sepuluh siang. Sial. Dia terlambat, benar-benar sangat terlambat. Sur pun memutuskan memilih kembali ke indekos sewaan di dekat SMA C untuk beristirahat.

"Saman tas ko ndi, Nduk? (kamu baru dari mana, Nak, red.)," tanya pemilik indekos menyadari raut Sur tampak kelelahan.

Dengan malu Sur menjelaskan dia kembali dari Kota T.

"Wis mangan opo durung? (sudah makan apa belum, red.)," lanjut pemilik indekos iba.

Sur hanya menggeleng menahan lapar.

"Mangan kene lo, Nduk! (makan sini lo, Nak, red.)," ajaknya.

Sur enggan menolak. Rasa lelah dan lapar yang menyelimutinya membuat Sur mengiyakan tawaran pemilik indekos yang bagai malaikat penolong.

Belum sempat beristirahat di indekos yang dia sewa, tiba-tiba Kilo datang menghampirinya.

"Tas ko ndi? Sampean digoleki gurumu lan cah-cah (baru dari mana? Kamu dicari gurumu dan anak-anak, red.)," ujar Kilo khawatir.

Sur segera memeriksa gawainya dan sadar gawai itu mati karena kehilangan daya baterai. Oleh karena itu semua orang tidak dapat menghubunginya.

"Ndang, gek nek sekolah (cepat, segera ke sekolah, red.)," ajak Kilo yang menjabat sebagai ketua PPL SMA C.

"Sik to, aku durung adus (sebentar, aku belum mandi, red.)."

"Halah, nggak usah adus. Selak dienteni (Halah, nggak perlu mandi. Sudah ditunggu, red.)."

Hanya dengan memakai jasket almamater berwarna hijau tua, Sur memasuki SMA C dengan ragu-ragu. Di sana Sur segera disambut mahasiswa lain yang khawatir, begitu pun salah seorang guru pembimbingnya. Lantas dia bersyukur karena tidak mendapat hukuman apapun atas keterlambatan hari itu.

Kalian harus tahu, saat Sur menceritakan pengalamannya ke gw, saat itu gw tahu bahwa apapun yang ada di kantor jancuks begitu berharga. Sur tidak menyesal melakukan tindakan semacam ini karena dia mencintai lembaga pers yang meringkuk di kantor jancuks, teman-teman seperjuangannya, dan seluruh junior-juniornya.

Cerita ini berakhir demikian. Lantas mana sisi horornya? Jika kalian tahu, sebutkan siapa perempuan yang kuat mengayuh sepeda ontel sejauh 37 km demi sebuah prasidang tema rutinan laiknya tokoh bernama Sur? Pasti akan jarang kalian temukan fenomena semacam ini. Gw harap cerita ini mengandung hikmah untuk setiap pembaca. Selain itu gw juga ingin Busukers tahu bahwa ada pengorbanan yang layak diketahui semua orang, meski horor namun tokoh dalam cerita ini sebenarnya adalah hero.

Untuk kesalahan ketik dan sebagainya gw mohon maaf. Akhirnya gw undur diri karena cerita ini berakhir.