Air laut
Sumber: home.bt.com

Naiknya suhu bumi menyebabkan peningkatan permukaan air laut yang
diinterpretasikan dalam perubahan MSL (mean sea level). IPPC atau Intergovermental Panel 
on Climate Change (2007) mengestimasikan kenaikan permukaan air laut sebesar 26-59 cm
dalam 100 tahun mendatang. Menurut Dahuri dalam Wirasatria et al. (2006) hal ini berkaitan
terhadap mencairnya es kutub utara dan kutub selatan. Jika ditelaah melalui kuantitas, kenaikan
permukaan air laut sebanding terhadap peningkatan volume, pertambahan wilayah, dan
perluasan habitat biota laut. Sayangnya penambahaan kuantitas tersebut terancam tidak
berbanding lurus terhadap grafik laju pertumbuhan dan tingginya tingkat keanekaragaman
biota laut.

Biota laut menurut Pratiwi (2006) terbagi atas 2 kelompok besar yang terdiri atas
kelompok hewan dan tumbuhan dengan berbagai sifat: planktonik, nektonik, maupun bentik.
Keanekaragaman biota laut Indonesia yang tinggi, membuat negara maritim yang terletak di
ekuator ini dijuluki sebagai megabiodiversitas dunia. Sayangnya kenaikan suhu bumi yang
selaras terhadap kenaikan permukaan air laut sedang mengancam satu dari sekian gelar yang
dimiliki Negara Kesatuan Republik Indonesia tersebut.

Kenaikan permukaan air laut sebagai dampak mencairnya es di kutub-kutub bumi
menyebabkan terjadinya proses pengenceran yang kemudian mengakibatkan penurunan kadar
salinitas. Menurut Fardiansyah (2011) salinitas perairan laut berkisar antara 30-40 ppt. Kutub
sebagai sumber air tawar terbesar di dunia, dikhawatirkan dapat menaikkan jumlah pelarut saat
zat terlarut (konsentrasi garam) tidak mengalami kenaikan. Padahal salinitas lingkungan yang
tidak sesuai dengan konsentrasi garam fisiologis ikan menyebabkan energi yang seharusnya
digunakan untuk pertumbuhan dialihkan untuk osmoregulasi sehingga proses pertumbuhan
terhambat (Pamungkas, 2012). Bahkan hasil penelitian Rahman et al. (2017) menunjukkan
penurunan salinitas mengakibatkan kerusakan organ ginjal dan insang ikan capungan banggai
(Pterapogon kaudermi) di minggu kelima. Hal ini menunjukkan tidak semua biota laut dapat
beradaptasi saat terjadi penurunan salinitas yang tajam. Biota laut dengan toleransi salinitas
luas (euryhaline) memiliki kesempatan bertahan hidup lebih besar dibandingkan biota dengan
toleransi salinitas yang kecil (stenohaline).

Namun pada kenyataannya penurunan dan kenaikan salinitas air laut merupakan
fenomena alami, dapat terjadi sepanjang waktu yang di antaranya disebabkan evaporasi, arus
laut, curah hujan, dan faktor lainnya. Selain itu perairan di seluruh dunia memiliki salinitas
yang beragam, baik secara vertikal (kedalaman) maupun horizontal. Meskipun penurunan
salinitas yang disebabkan mencairnya es di kutub-kutub bumi tampak tidak memengaruhi
sampai saat ini, tapi akan dapat sangat berbahaya ketika es di kutub-kutub tersebut mencair
seluruhnya. Bayangkan, seperti dilansir dalam mongabay.com, 70% air tawar di planet bumi
berada di Antartika yang merupakan benua berlapis es di kutub selatan. Dan sekarang, es di
kedua kutub bumi, bukan hanya Antartika, perlahan-lahan mulai menghilang yang mengancam
keanekaragaman hayati lautan. Padahal penyelamatan kawasan pusat keanekaragaman hayati
laut NGO telah dilakukan sejak tahun 1990-an, namun terbatas pada pengumpulan data terus-menerus, promosi, proyek parsial, dan aktifitas terbatas lainnya (Ridona, 2015).

Penurunan salinitas yang disebabkan naiknya permukaan air laut dapat disetimbangkan
melalui desalinasi. Dalam KBBI daring, desalinasi merupakan proses membuat air laut menjadi
tawar. Hanna dan Hadi (2016) menuliskan teknologi desalinasi masal meliputi distilasi,
teknologi membran, dan teknologi pertukaran ion. Distilasi merupakan proses penyulingan air
laut dengan prinsip evaporasi dan pengembunan, teknologi membran memakai penghalang
yang bersifat selektif, sedangkan pertukaran ion terkait arus listrik. Teknologi membran dengan
Reverse Osmosis (RO) lebih unggul dengan tingkat kecepatan tinggi dan dapat meringankan
biaya investasi (Hanna dan Hadi, 2016). Artinya semakin besar penggunakan teknologi
desalinasi, baik berupa teknologi membran dengan Reverse Osmosis (RO) atau yang lainnya,
maka akan semakin banyak zat pelarut yang disingkirkan dan meninggalkan zat terlarut
kembali di lautan. Tidak menampik kenyataan, manusia selalu membutuhkan air tawar,
begitupun berbagai hewan dan tumbuhan. Hasil desalinasi ini akan memenuhi kebutuhan
manusia yang tidak terbatas: air minum, memasak, mandi, mencuci, dan kebutuhan lain yang
terkait air tawar. Hal ini dapat menjaga kesetimbangan salinitas yang akan menjaga
keanekaragaman biota laut. Namun perhitungan mengenai kesetimbangan ini tidak pernah
dibahas dalam litelatur ilmiah sebelumnya.

Di samping semua metode tentang desalinasi, usaha terpenting untuk mengatasi
pengenceran air laut yang berlebihan adalah membekukannya kembali. Menurut Juwana
(1985) air laut yang didinginkan hingga temperatur 0 ͦC akan meninggalkan garam-garam
terlarut yang tidak ikut membeku. Seperti distilasi atau penyulingan yang secara terang-terangan meniru proses alam (terkait evaporasi dan pengembunan), tanpa membutuhkan energi dan alat yang rumit, proses pembekuan dapat terjadi secara alami dan berkala. Namun proses
ini mengalami kendala di era milenial dengan perkembangan IPTEK yang memunculkan
berbagai dampak negatif terhadap lingkungan. Pertanyannya adalah apakah alam akan cuma-cuma membekukan air laut ketika tubuhnya digerogoti serampangan? Kenaikan suhu bumi
yang terus menerus tanpa usaha penanggulangan akan memperkecil kemungkinan terjadinya
pembekuan air laut apalagi menjaga es-es tetap membeku di posisi mereka yang sesungguhnya.
Selain itu, jika proses pembekuan dilakukan memakai mesin-mesin buatan manusia, akan
memakan biaya dan tenaga yang luar biasa besar. Kemudian mari berjalan pada permasalahan
awal tulisan ini, saat es yang terbentuk kembali mencair maka akan terjadi pengenceran sekali
lagi dan lagi-lagi menurunkan kadar salinitas. Dapat disimpulkan desalinasi digunakan untuk
menaikkan kadar salinitas air laut. Desalinasi merupakan jalan keluar akhir ketika suhu bumi
tidak dapat diturunkan. Tentunya hal ini masih membutuhkan banyak kajian yang lebih
mendalam dan ilmiah, bukan sekadar mengira-ngira tanpa melakukan perhitungan memakai
angka-angka.

Selain kekhawatiran mengenai pengenceran yang menyebabkan turunnya salinitas air
laut, salinitas yang terlalu tinggi juga memengaruhi keanekaragaman hayati. Misalnya Laut
Mati yang sama sekali tidak memiliki biota laut karena tingkat salinitas terlalu tinggi.
Penelitian Keliat et al. (2015) juga menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat salinitas maka
pertumbuhan tanaman (mangrove) akan semakin terganggu. Jadi, salinitas sesuai keadaan
perairan yang sesunggugnya merupakan sesuatu yang harus dipertahankan. Kenaikan atau
penurunan salinitas di luar batas toleransi biota laut menyebabkan penurunan keanekaragaman
hayati. Dan, penurunan salinitas yang tajam dapat disetimbangkan dengan berbagai teknologi
desalinasi.

Allah berfirman dalam surah Al-Qashas ayat 77 yang artinya; “Dan carilah pada apa
yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah
kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang
lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan
di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Kesetimbangan terhadap sesuatu, khususnya antara dunia dan akhirat merupakan ihwal yang
senantiasa dijaga untuk memperoleh kebahagiaan. Begitupun kesetimbangan salinitas yang
akan terus menyokong keanekaragaman biota laut.