Situs Tulungrejo: Diduga Tempat Pendharmaan Ratu Suhita

Situs Co Manten
Sumber: doc. pribadi

Situs Tulungrejo terdiri atas dua situs: Co Manten dan Co Guru yang keduanya terpisah sekitar 500 meter. Co berarti reco -- di masa Belanda Co Manten disebut sebagai Yoni Van Djeboek. Situs Tulungrejo berada di Desa Tulungrejo, Kecamatan Karangrejo, Kabupaten Tulungagung.

Co Manten
Menurut cerita rakyat yang diambil sebagai cerita kesenian Ketoprak Siswo Budoyo, Tulungagung, Co Manten adalah tempat Damar Wulan dan Istrinya. Sedangkan gurunya yang seorang resi berada di Co Guru. Cerita lain menjelaskah bahwa Co Manten bermula dari seorang lelaki dan perempuan yang dikutuk.

Co Manten mempunyai deretan keunikan. Situs ini menyerupai sebuah yoni yang mempunyai dua cerat, namun tidak berlubang di bagian tengahnya untuk tempat sebuah lingga. Cerat pertama disangga seekor naga yang memakai mahkota -- hal ini sebagai simbol seorang raja, juga disebut sebagai naga basuki -- dan cerat kedua disangga oleh Gana -- prajurit Siwa, penguasa dunia bawah. Naga adalah ciri kerajaan Majapahit yang dipengaruhi budaya China.

Terdapat sebuah pendapat yang menyatakan bahwa Co Manten adalah situs yang belum selesai. Hal ini terlihat dari bagian atas mulut naga basuki yang seolah tertusuk sesuatu yang runcing -- mungkin di masa lalu bagian ini rencananya akan menjadi ornamen lain. Namun, terdapat pendapat lain yang menolak pendapat ini. Jika dikaitkan dengan akhir Kerajaan Majapahit, Co Manten diduga terkait Ratu Suhita -- raja keenam Majapahit -- yang mengakhiri Perang Paregreg pertama dan berkuasa bersama suaminya selama 20 tahun. Mungkin, naga ini sebagai simbol Majapahit yang mulai mengalami kemunduran. Terlebih, adanya catatan sejarah yang menunjukkan pasca kematian Ratu Suhita dan suaminya, terjadi Perang Paregreg kedua.

Intinya, Co Manten bukan yoni biasa yang dapat mengeluarkan air laiknya yoni-yoni pemujaan. Yoni ini berfungsi sebagai lapik (penyangga) arca. Di masa kolonial Belanda, diambil sebuah foto yang menunjukkan adanya arca laki-laki dan perempuan yang berdampingan di atasnya. Oleh karena tampilan kedua arca yang menyerupai manten atau dua orang yang melangsungkan pernikahan, maka masyarakat menyebutnya sebagai Co Manten.

Menurut penelitian, Co Manten merujuk pada seorang raja, yakni Ratu Suhita dan suaminya, Parameswara. Berdasarkan Kitab Pararaton, kematian Ratu Suhita dan Parameswara hanya berselang setahun. Oleh karena itu, Ratu Suhita dan Parameswara diduga dimanifestasikan melalui arca Siwa dan Parwati di situs ini.

Pararaton ikut menulis, pendharmaan Ratu Suhita dan suaminya berada di sebuah tempat yang disebut Singajaya. Mungkin, Situs Tulungrejo adalah Singajaya yang dimaksud. Apalagi, terdapat Co Manten yang mempunyai deretan keunikan yang dapat menggambarkan Ratu Suhita dan suaminya. Menurut keterangan, lokasi Situs Tulungrejo sebenarnya jauh lebih luas di masa lalu. Hal ini dibuktikan dengan temuan batu bata kuno, ambang pintu, dan tembok yang telah menghilang.

Situs Co Guru
Sumber: doc. pribadi

Co Guru
Situs Co Guru diduga sebagai bagian Singajaya yang sampai saat ini mempunyai dua yoni, umpak, dan sebaran batu bata merah -- dalam foto Belanda diketahui mempunyai Arca Ganesha. Kedua yoni situs ini tidak sebesar laiknya yoni Situs Co Manten, namun sama-sama tidak mempunyai lubang di tengahnya sebagai tempat lingga. Yoni pertama tampak sederhana, tanpa hiasan, dengan cerat yang patah dan hilang sampai saat ini -- diduga berasal di era yang lebih tua. Sedangkan yoni kedua tampak meriah dengan ornamen-ornamen yang dilengkapi sebuah cerat yang disangga seekor naga bermahkota.

Kedua yoni di Situs Co Guru laiknya bukan yoni  kebanyakan, melainkan berfungsi sebagai lapik arca, yakni untuk Siwa di yoni pertama dan Suhita di yoni kedua. Hal ini dibuktikan melalui foto-foto Belanda. Sementara jika dikaitkan dengan nama Co Guru yang berasal dari masyarakat, mungkin hal ini terkait Siwa yang juga disebut sebagai mahaguru.

Terdapat pendapat yang menyatakan bahwa yoni tanpa hiasan di situs ini diduga berasal dari masa pra Majapahit. Pendapat ini semakin diperkuat dengan adanya prasasti yang berasal di era Kediri -- prasasti ini terletak di dekat Prasasti Kebun Karet Boso. Namun, pendapat lain mengatakan bahwa yoni ini belum selesai dibuat. Jika memang demikian, maka akan terdapat semacam tonjolan untuk membuat ornamen. Tapi, tonjolan yang dimaksud tidak pernah ditemukan. Mungkin, tempat ini telah digunakan sebagai tempat pemujaan sebelum dijadikan sebagai tempat pendharmaan Suhita. Misalnya seperti Candi Sukuh yang dibangun di atas sebuah candi sebelumnya.

Sementara itu, yoni sebagai lapik arca Suhita di situs ini terlihat meriah, indah, penuh ornamen, dan istimewa. Sama halnya dengan bagian belakang arca Suhita yang dihiasi teratai. Sangat menawan tentunya. Padahal, biasanya tidak ditemukan relief di bagian belakang sebuah arca. Relief teratai diduga sebagai interpretasi bahwa Suhita memberi suatu harapan pasca Perang Paregreg. Perlu diketahui, bahwa ornamen arca Suhita di Situs Co Guru dan Co Manten -- khususnya ornamen bagian kepala -- mempunyai kemiripan. Oleh karena itu dapat disimpukan kedua arca ini dibuat di waktu yang sama atau berdekatan dan dibuat oleh orang yang sama atau sezaman.

Jika situs Co Guru dan Co Manten adalah sebuah tempat yang disebut sebagai Singajaya, maka tempat ini tersusun laiknya pundan berundak. Bagian tertinggi ialah Co Guru yang berorientasi di Gunung Wilis. Oleh sebab itu, dapat dikatakan tempat ini telah representatif untuk menjadi suatu bangunan suci di masa lalu. Kemudian alasan letak suatu pendharmaan biasanya juga terkait kedekatan suatu tokoh terhadap nenek moyangnya. Mungkin, nenek moyang Suhita berasal dari Tulungagung.

Sedangkan sebaran batu bata merah yang ada dapat mengindikasikan rusaknya Situs Tulungrejo akibat bencana geologi atau politik. Rasionalisasinya seandainya situs ini rusak, maka penganut yang tersisa akan memperbaikinya dari sesuatu yang kecil, kecuali tidak ada penganut yang menjaga situs ini sama sekali di dunia ini. Terlebih di akhir masa Kerajaan Majapahit, diketahui pengaruh Islam semakin kuat.

Situs Tulungrejo membutuhkan kajian dan penelitian yang lebih mendalam. Apalagi, banyak keunikan yang ditemukan. Sayangnya tempat ini mulai terasing di kalangan milenial sampai saat ini.

Sumber: Diskusi Komunitas Asta Gayatri dalam Jelajah Situs #2

Posting Komentar

0 Komentar